Friday, June 30, 2017

Aldnoah.Zero EXTRA EPISODE 02 [Inaho's Past] - Chapter 3 part 2

English here
I translated from Eng ver bcus my Japanese is not A++ lol
translator: christa
tolong sertakan link ke laman ini jika ingin repost. thankyou.

Aldnoah.Zero EXTRA EPISODE 02 [Inaho's Past]
Bab 3 - A Den of Angel Wings (Sarang Sayap Malaikat)
bagian 2



Waktu berlalu dan tidak ada burung yang lewat. Tidak ada satupun yang terlihat di langit luas yang putih.

Sambil duduk di atas tikar yang digelar di atas pasir, Yuki memelototi langit dengan jengkel. Inaho, yang sepertinya sudah menyerah dengan burung, sedang berada di dunianya sendiri dengan menggali pasir di antara batu-batu.

"Nao-kuuuuuuuuuuuun!" Yuki memanggil Inaho agar dia tidak pergi semakin jauh. "Jangan pergi jauh-jauh!"

Inaho mengangkat batang kayu yang dipakainya untuk menggali pasir, seolah berkata, 'Iya iya aku paham.'

"Haah..." Desahan pelan Yuki tersapu oleh angin laut. "Aku merasa seperti orang bodoh."

Mungkin memang lancang baginya untuk berpikir bahwa dia bisa meninggalkan kenangan untuk adiknya. Habisnya, dia memang kakaknya, tapi bukan orang tuanya.

Mungkin dia hanya berpura-pura bisa memberi Inaho sesuatu sekarang, setelah semua yang telah terjadi. Bukan, bukan kepura-puraan, tapi kesombongan.

Memang benar dia satu-satunya keluarganya, tapi yang membesarkannya di "Rumah" adalah staf member dan perawat di sana.


Yuki merasa berat sekali di bahunya. Kadang, ketika dia bermain dengan teman seusianya, dia bertingkah seperti orang yang lebih tua dari mereka seolah menunjukkan bahwa hanya itu yang bisa dia lakukan.

Dia bertanya-tanya apakah keadaannya berubah sekarang.

Dulu, mereka memang tidur dan makan bersama, tapi...

Kenapa dia berpikir kalau baru sekarang dia bisa memahami adiknya?

"Aku benar-benar bodoh..."

Suara deru ombak terdengar sedikit menyakitkan baginya. Benar-benar pas dengan hatinya yang galau, seolah ombak itu mengantarkan kegelisahan.

"..Duh!"

Merasa frustasi, Yuki mengambil ranting yang jatuh di pantai. Dia tidak tahu apa dia ingin memukul sesuatu dengan itu atau mau melemparnya saja. Dia hanya ingin melampiaskan kemarahannya.

Tapi si ranting tidak terbang ke arah laut.

Dia terbang ke arah belakang Yuki. Yuki tidak memegangnya dengan benar sehingga terbawa angin dan...

"Aduh!"

Dari semua kemungkinan yang ada, ranting tadi malah jatuh ke kepala orang.

Yuki tersentak, "Ah! Maafkan aku!"

Karena mendengar suara 'aduh', dia segera melihat ke belakang. Seorang pemuda sedang duduk di atas kayu, memelototinya dengan marah.

Di sebelahnya ada ranting yang tadi Yuki lempar, atau lebih tepatnya tidak sengaja terlempar.

Melewati pasir, Yuki berlari ke arah pemuda itu.

"M-maaf..! Apa kau terluka?"

"Ya." Si pemuda memperjelas dengan dingin.

"Eh..? Di mana lukanya?"

"Patah nih."

Saat Yuki melihatnya, ada gips besar di kaki kirinya.

"Eh... ini...?"

Jelas itu bukan karena ranting Yuki.

"Sepertinya aku tidak melukaimu, walaupun kau terluka."

Pemuda itu mengenakan pakaian yang terlihat seperti baju rumah sakit. Jadi dia masuk rumah sakit karena patah tulang, lalu melihat Yuki di pantai, dan mengejeknya untuk bersenang-senang?

Yuki melihatnya dengan sebal.

Dengan tawa yang mengesalkan, si pemuda mengeluarkan rokok yang sudah mengerut dan korek dari sakunya, lalu menyalakan rokoknya dengan lihai. Setelah menghisapnya, dia melihat ke arah Yuki dan mengeluarkan asapnya.

"Hei!!" Yuki marah.

"Oh, maaf. Aku terlalu kaget karena terluka gara-gara ranting jadi aku bertindak di luar kemampuanku."

Cara bicara pemuda itu sedikit kekanakan, bahkan jika dibandingkan dengan anak-anak. Dari pada marah, Yuki lebih merasa heran. Mungkinkah pemuda ini lebih kekanakan dari pada semua orang dewasa yang dia temui selama ini?

"Kau pikir aku kekanak-kanakan?"

"Ya, benar." Dia mengangguk mantap. Biasanya, dia tidak akan bertindak setidak-sopan ini pada orang dewasa, tapi pemuda ini, dia bahkan tidak bisa dibilang dewasa.

"...Kalian hanya berdua?"

"Eh? Uh, ya."

Mata pemuda itu tertuju pada Inaho, "Orang tua kalian bagaimana?"

"Tidak ada. Mereka mati waktu Heaven's Fall." Yuki menjawab terus terang. Tapi di kepalanya dia berteriak, 'Oh sial!'

Kalau dipikir, karakternya yang menyebalkan itu bukan karakter menyebalkan yang biasanya. 'Bagaimana kalau dia bohong soal kakinya yang patah dan menggunakan kesempatan ini untuk berbuat jahat pada kami?'

Tepat saat Yuki akan menjauhi pemuda itu,

"Begitu. Aku minta maaf." Dia berkata pelan.

Benar-benar tidak diduga.

'Apa? Untuk apa dia minta maaf?'

Karena tidak lagi merasa curiga pada pemuda itu, Yuki tertawa dan tersenyum, "Kau tidak perlu minta maaf. Bukan hanya kami saja kok."

"...!"

Mata pemuda itu terbuka lebar.

Yuki kaget dengan reaksinya yang aneh, "A-apa?"

"Bukan apa-apa. Aku hanya kaget ada yang bisa berkata begitu sambil tersenyum."

Yuki tertawa pelan, "Tapi kau tahu kan, yang jadi yatim-piatu karena perang bukan hanya kami..."

Memang, ada banyak jutaan yati-piatu saat ini. Saking banyaknya sampai rasanya lucu kalau harus kasihan pada mereka satu per satu.

"Tentu banyak anak yang kehilangan orang tuanya saat perang," pemuda itu berhenti sejenak. "Tapi itulah mengapa kau tidak seharusnya merasa kasihan."

"Eh..?" Sejenak, Yuki tidak paham dengan perkataannya.

"Semua orang bernasib sama, jadi tidak hanya kau saja. Karena itu kau berhenti mengasihani dirimu sendiri."

Saat kata-kata terus keluar dari mulur pemuda itu, Yuki menggelengkan kepalanya dan membantah, "Bukan! Bukan itu maksudku!"

"Aku juga kehilangan teman yang penting saat perang."

Yuki terdiam karena kaget.

"Aku tentara. Aku bisa mati kapan saja saat pertempuran dimulai. Memang seperti itulah pekerjaanku. Tapi kau tidak bisa begitu saja menganggap kematian temanmu sebagai kejadian biasa yang dialami semua orang."

"Tapi..."

Yuki tidak mengerti.

Dia tidak mengerti apa yang pemuda itu katakan. Dia tidak tahu apa yang seharusnya dia katakan pada pemuda aneh di depannya.

"Tapi dia... adikku tidak pernah tahu orang tuanya. Bahkan rasanya seperti mereka memang tidak pernah ada sejak awal... dan kau bilang kalau aku satu-satunya yang tidak merasa kasihan akan hal itu? Kau pasti bercanda. Dia tidak punya apa-apa, dia tidak akan menunjukkan emosinya. Dia tidak bisa terus seperti itu!"

"'Kakakku tidak bisa berkabung akan keluarganya karena aku ada disini...' Kalau aku jadi adikmu, aku tidak akan pernah punya pikiran senegatif itu."

Yuki terkejut.

"Menangislah saat kau sedih. Tersenyumlah saat kau senang. Luapkan saja kalau kau ingin marah. Aku tidak tahu soal adikmu, tapi bagiku kaulah yang tidak punya emosi."

"Aku...?"

"Kau tidak bisa menunjukkan seluruh perasaanmu hanya dengan melakukan isyarat-isyarat dengan tubuhmu. Kalau kau cuma menunjukkan sisi itu pada adikmu," dia mematikan rokoknya di kayu dan membuangnya ke pasir, "berhentilah jadi seorang kakak."

"Haaaah?!"

Yuki benar-benar berubah menjadi merah karena marah.

Tidak, mungkin tidak benar-benar berubah, hanya saking marahnya dia sampai merasa begitu.

"Apa yang kau tahu?!" Dia membentak pemuda itu dan menarik bajunya, "Itu karena dia satu-satunya keluargaku!"

Ujung hidungnya terasa panas karena amarah.

"Dia saudaraku, kau tahu!"

"...Sebenarnya bukan seperti itu, kan?"

"Apanya?!"

Geram dengan arah pembicaraan ini, suaranya mejadi semakin keras.

Pemuda itu menyentil pipi Yuki, "Kau sebenarnya ingin menangis kan, cengeng?"

Yuki terdiam.

Saat itulah Yuki benar-benar sadar bahwa dia sedang menangis. Bukan cuma ujung hidungnya yang terasa panas. Apapun itu yang keluar dari matanya, apapun itu yang tercurah keluar dari dirinya yang sesungguhnya, terasa sangat panas sampai dia tidak bisa membayangkannya.

Dia menggerutu, "Bodoh! Tentara bodoh!"

Dengan ejekan setengah hatinya, Yuki berlalu menjauhi pemuda itu.

Dia tahu tanpa harus melihat dari balik bahunya kalau pemuda itu melihatnya dengan tersenyum.

'Berhenti jadi kakak? Apa-apaan dia?'

"Aku tidak akan berhenti!!"

Dia ingin memeluk adiknya sekarang juga. Dia sudah tidak tahan.

No comments:

Post a Comment