Sunday, June 25, 2017

Aldnoah.Zero EXTRA EPISODE 02 [Inaho's Past] - Chapter 1 part 2

English here
I translated from Eng ver bcus my Japanese is not A++ lol
translator: christa
tolong sertakan link ke laman ini jika ingin repost. thankyou.

Aldnoah.Zero EXTRA EPISODE 02 [Inaho's Past]
Bab 1 - A New Town (Kota Baru)
bagian 2





Cahaya oranye dari matahari terbenam menyinari rambut adik laki-lakinya yang sedikit keriting.

Yuki bergegas ke rumahnya yang masih asing baginya, dengan tas belanja berisi penggorengan dan sumpit di tangan kanannya, dan tangan adiknya yang kecil di tangan kirinya.

Harga penggorengannya 2800 yen (sekitar 335.000 rupiah) dan sumpitnya 400 yen (sekitar 48.000 rupiah). Dia membeli keduanya atas saran Inaho. Harganya rata-rata, mungkin. Sebenarnya ada yang lebih murah, tapi Inaho bilang kalau lapisan Teflon (Yuki sama sekali tidak tahu itu apa) cepat mengelupas, jadi lebih baik beli yang sekarang. Jadi akan lebih murah untuk jangka panjang, kata adiknya.

Tersisa 5600 yen (sekitar 670.000 rupiah) di dompetnya. Tentu saja, masih ada 10 kali lipat dari itu di tabungan banknya, tapi dia sebisa mungkin ingin berhemat. Mereka punya uang lebih karena tidak perlu membayar sewa apartemen, tapi representatif mereka tidak akan mengirim mereka uang lagi sampai akhir bulan. Lagi pula, ini bulan pertama mereka tinggal sendiri jadi tidak bisa terlalu santai.


"Nao-kun, jangan lepas tanganku." Sambil berusaha keras mengalahkan kegelisahannya, dia bertingkah seperti kakak perempuan yang bisa diandalkan.

"Aku memegangnya sekarang, kok"

"Aku tahu. Aku cuma ingin mengatakannya."

"Aku pikir juga begitu."

"Tidakkah hal seperti ini membuatku terlihat seperti kakak yang bisa diandalkan?"

"Hmm, mungkin."

Suara Inaho sama persis seperti ketika dia memberitahu bagaimana dia membalas kakak kelas yang membully-nya.

Seperti, seolah selama ini selalu tidak beremosi, kosong.

"Kau ingin makan malam apa?" Yuki bertanya dengan riang, menyingkirkan apa yang ada di pikirannya.

"Apapun yang Yuki-nee masak."

"Kalau begitu kita makan kare ya."

'Kalau begitu setelah ini beli kare-siap-pakai di supermaket murah di depan stasiun,' pikir Yuki.

"...Aku tidak akan menyebut memanaskan air itu 'masak'"

Seolah Inaho bisa membaca pikirannya. mendengar hal itu, Yuki tidak sengaja berkata, "Aahh..."

"P-paling tidak aku akan masak nasi." Dia bersikeras. "Kita punya rice cooker, kan"

"Apa Yuki-nee tahu cara mencuci beras?"

"...harus dicuci?"

"Sudah kuduga kau akan bilang begitu."

'Kalau adikku yang berumur 8 tahun terus mengajariku seperti ini, peranku sebagai kakak bisa hancur.'

Yuki berusaha keras mengingat pelajaran ekonomi rumah tangga, yang mana dia hanya pernah bertanggung jawab di bagian sampling makanan.

Oh benar juga, berasnya memang harus dicuci. Tapi itu menimbulkan pertanyaan baru: bagaimana mencucinya?

Diaduk dalam mangkok... Tunggu dulu, mereka bahkan tidak punya mangkok. Yuki memang menerima beberapa alat makan second dari "Rumah", tapi mungkin dia harus kembali ke toko yang tadi dan membeli mangkok yang bagus.

"Tidak usah memaksakan diri. Hari ini ayo beli nasi instan." Inaho berkata, seolah sekali lagi dia bisa melihat ke dalam Yuki.

Yuki menghela nafas pelan, "Aku benar-benar minta maaf. Aku kakak yang tidak bisa diandalkan."

'Benar sekali', pikirnya, sambil menggenggam tangan adiknya yang seperti bayi dengan kuat.

Adiknya punya tangan seorang anak kecil, sedikit lebih besar dari daun maple, tapi kurus dan lemah, dan sedikit lebih hangat dari tangannya... benar-benar tangan seorang anak kecil.

Dia bertanya-tanya apa yang tangan ini rasakan saat pemiliknya didorong-dorong oleh kakak-kakak kelas yang membully-nya. Apa yang dirasakan tangan ini ketika Inaho menjatuhkan mereka dengan batu? 

Yuki sangat frustasi dengan dirinya sendiri karena tidak bisa mengerti adiknya sepenuhnya.

Hanya dia satu-satunya keluarganya, tapi...

"Yuki-nee tidak begitu, kok." Inaho menyemangatinya dengan tanpa ekspresi.

Yuki tersenyum kecil.

Saat itulah terjadi. 



"Permisi. Apakah kalian yang baru pindah ke rumah di ujung sana?"

Orang yang memanggil mereka berdua adalah gadis kecil yang mungkin seumuran Inaho. Mungkin karena gugup berbicara dengan orang asing, pipinya terlihat sedikit merah. Begitu pula lututnya yang terlihat sedikit di balik rok pendeknya.

"Iya, benar." Yuki menjawab. "Dan kau, gadis manis...?"

...'siapa kau?' Yuki berpikir kalau bertanya seperti itu akan terdengar sedikit kasar.

Si gadis kecil pun memperkenalkan dirinya sambil malu-malu, seolah dia menebak apa yang ingin dikatakan Yuki.

"N-namaku Amifumi Inko. Aku kelas 2... Eh bukan, aku kelas 3 bulan April nanti."

"Wah kalau begitu kau seumuran dengan Inaho. Aku Kaizuka Yuki, ini adikku Inaho"

"Namaku Inaho. Aku juga kelas 3 bulan April nanti."

Wajah Inko menjadi ceria mendengar kata 'seumuran'. "Benarkah? Wah apa nanti kita satu sekolah, ya?"

"Mungkin."

"Kalau begitu, nanti pergi ke sekolah bersama-sama... tunggu, bukan ini! Umm, ayahku ingin memberitahu kalian bahwa kami, umm orang tuaku punya restoran, dan mereka bilang kalian bisa datang untuk makan malam kalau berkenan!"

'Untuk merayakan kepindahan kalian kemari.' Dia memotong kata-katanya di sana, menundukkan kepalanya, dan semakin memerah.

Garis besarnya, dia mengundang mereka berdua untuk makan malam keluarga yang hangat.

Yuki melihat Inaho di sebelahnya, bingung akan harus bagaimana.

Inaho juga melihat kakaknya.

"Nao-kun, bagaimana menurutmu?"

"Boleh saja. Yuki-nee pasti capek karena pindahan."

Tersenyum canggung karena respon adik laki-lakinya yang sama sekali tidak seperti anak-anak, dia kembali ke gadis kecil di depannya, "Inko-chan, ya? Tentu saja, dengan senang hati." dia berkata sampir menundukkan kepalanya.

"B-baiklah! Tempat kami tua dan tidak bersih seperti restoran keluarga, tapi masakan ayahku luar biasa... menurutku!" dia berkata dengan riang, mukanya merah karena malu. Caranya berbicara menggemaskan.

'Dia pasti menyayangi orang tuanya, keluarganya.'

Yuki melihat adiknya di sebelahnya sekali lagi. Dia menggelengkan kepalanya, ingin menghilangkan rasa sedikit-kesepiannya karena melihat adiknya yang sama sekali tidak berekspresi, sangat berbeda dengan Inko.

"Um.. apa kalian punya saudara kandung yang lain?" Inko bertanya pada Yuki dan Inaho sambil berjalan.

"Kenapa?" Yuki balik bertanya, kaget dengan pertanyaan yang tiba-tiba.

"Maksutku, hmm, karena Inaho-kun memanggil Yuki-san 'Yuki-nee'. Kalau anak punya lebih dari satu kakak akan memanggilnya begitu..." (-san: panggilan untuk orang yang lebih tua atau dihormati)

"Ah... Aku mengerti kenapa kau berpikir begitu."

Baru kali ini dia menyadarinya karena ada yang bertanya.

Inko benar, jika seseorang hanya punya satu kakak perempuan, dia tidak akan repot-repot memanggil nama kakaknya. Cukup dipanggil 'nee-chan' saja. Di "Rumah" tempat Yuki dan Inaho tinggal dulu, anak-anak memanggil mereka yang lebih tua dari mereka 'onii-chan' atau 'onee-chan', tidak peduli mereka saudara kandung atau tidak. Tapi, mereka jadi tidak bisa membedakan satu sama lain. Lambat laun, panggilan untuk mereka yang lebih tua adalah dengan memanggil nama mereka dengan menambahkan '-nii' atau '-nee' di akhir. (onii-chan/nii-chan/-nii: kakak laki-laki. onee-chan/nee-chan/-nee: kakak perempuan)

Tapi meski Inaho sudah keluar dari "Rumah", dia masih memanggil 'Yuki-nee'. Mungkin dia tidak tahu cara lain untuk memanggil kakaknya, atau mungkin dia merasa tidak perlu menggantinya setelah selama ini. Mungkin alasannya yang kedua, sih.



Makan malam di hari pertama mereka tinggal berdua benar-benar mewah dan di luar ekspektasi mereka.

Mungkin seseorang mendengar kabar kalau ada yatim-piatu yang pindah ke apartemen.Orang tua Inko menyambut Yuki dan Inaho dengan hangat dan menyuguhi mereka dengan jamuan nasi kare daging sapi yang luar biasa banyak.

Makan malam di "Rumah" juga menyenangkan dan ramai, tapi rasanya berbeda dengan kehangatan di sini. Mungkin, mungkin saja, seperti inilah rasanya punya keluarga.

"Pasti berat ya hidup berdua saja. Datanglah kapanpun kalian mau." Ibu Inko berkata.

Sedikit demi sedikit, kata-kata itu menghangatkan hati Yuki.

Harga di menunya wajar, jadi dua atau tiga kali seminggu ke sini tidak akan terlalu memberatkan mereka.

"Kalau dibandingkan dengan biaya yang terbuang saat Yuki-nee gagal masak, kupikir datang kesini bisa jadi lebih murah."

Tentu, Inaho yang berkata seperti itu.

"Oke, kalau begitu kita ke sini mulai besok?" Yuki memberi saran.

"Ya."

Adik laki-lakinya membuka mulutnya dengan lebar, pipinya penuh dengan kentang dan kare, dan mengangguk dengan tegas untuk pertama kalinya.

No comments:

Post a Comment