Saturday, July 1, 2017

SukaSuka - Volume 1 Chapter 1

translator: christa
tolong sertakan link ke laman ini jika ingin repost. thankyou.


Shuumatsu Nani Shitemasu ka? Isogashii desu ka? Sukutte Moratte Ii desu ka?
(Saat Dunia Berakhir, Apa yang Akan Kau Lakukan? Apa Kau Sibuk? Apa Kau Akan Menyelamatkanku?)


Bab 1: Sebelum Dunia Ini Berakhir - A


Malam sebelum pertempuran terakhir.

Paling tidak habiskanlah momen terakhir kalian dengan orang yang ingin kalian temui untuk terakhir kalinya. Kelompok para pahlawan yang berkumpul untuk mengalahkan Elq Harksten, seorang 'Visitor' (Pengunjung) yang telah ditetapkan sebagai musuh oleh Gereja Cahaya Suci, untuk sementara diliburkankan karena alasan itu.

"...Jadi kenapa kau balik kemari?" tanya si Anak Perempuan dengan wajah keheranan.

"Barusan sudah kubilang, kan? Besok pertempuran terakhir. Tidak ada jaminan kalau kami bisa pulang dengan selamat, jadi mereka bilang agar kita menghabiskan malam terakhir dengan orang yang penting-"

"Makanya ini salah!" si Anak Perempuan berseru, memotong kalimat Ayahnya. Sambil mondar-mandi di dapur sebuah panti asuhan kecil, dia terlihat marah. "Kalau kau pikir-pikir lagi, saat mereka bilang 'orang yang penting'  itu berarti maksudnya pacar atau istri atau sesuatu seperti itu, kan!"

"Yah, kupikir beberapa orang memang pergi bersama yang seperti itu..."

Kelompok para pahlawan terdiri dari 7 orang termasuk Regal Brave (Pahlawan Regal). Di antara mereka, 2 telah menikah dan 2 lainnya punya pacar, yah salah satunya punya terlalu banyak pacar sampai dia tidak tahu akan menghabiskan malam ini dengan siapa, jadi dia dianggap pengecualian.

"Sudahlah, toh aku sudah disini. Dan kemana orang-orang itu memutuskan untuk pergi tidak ada hubungannya denganku."

Aroma lezat tercium, diikuti dengan suara keroncongan dari perut yang kosong. Untungnya, si Anak Perempuan sedang serius mengaduk isi panci rebusannya, jadi dia tidak mendengar.


"Jadi kau tidak punya gadis yang ingin kau temui untuk terakhir kali, Ayah?"

Meski si Anak Perempuan memanggilnya Ayah, si pemuda bukanlah ayah kandungnya. Kebetulan saja dia yang paling tua di panti asuhan itu. Pengurus tempat itu, yang seharusnya lebih pas untuk dipanggil ayah, sudah terlalu tua. Makanya panggilan Ayah diberikan padanya.

"Tidak mungkin aku punya waktu luang seperti itu." si Ayah menjawabnya. "Sejak aku terpilih jadi Quasi Brave (Pahlawan Quasi), setiap hari aku selalu belajar, berlatih, bertarung, dan bertarung."

"Hmmm..."

Dilihat dari responnya yang setengah hati, si Anak Perempuan jelas tidak percaya padanya. Yah, bisa dimengerti sih. Para Quasi Brave, terkuat kedua setelah Regal Brave yang ditunjuk Gereja, pahlawan terhebat umat manusia, memang luar biasa populer. Jika kau berjalan-jalan di kota dan memperlihatkan identitasmu sebagai Brave, dalam sekejap kau akan dikelilingi gadis-gadis yang berisik. Lalu jika kau menghadiri pesta pertemuan para pejabat, kau akan dikenalkan pada anak perempuan para bangsawan.

Tapi, menarik perhatian para gadis dengan titel Quasi Brave dan menemukan gadis yang benar-benar kau sukai adalah masalah yang berbeda. Tidak peduli bagaimana cara para gadis itu mendekatinya, si pemuda itu pasti akan menolaknya. Tentu saja, dia paham betul kalau pemuda lain akan mengatainya buang-buang kesempatan.

"Saat aku melihatmu sebelumnya, sepertinya ada beberapa gadis cantik yang bekerja denganmu..."

"Aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan. Tapi teman kerja ya teman kerja."

"Kalau kau berkata begitu dengan serius dan tidak sedang pura-pura bodoh, aku jadi ingin membunuhmu."

"Duh, kau jahat juga ya."

"Mirip seseorang kan." si Anak Perempuan mengembalikan kata-katanya, tepat saat masakannya matang.

"Apa anak-anak sudah tidur?"

"Tentu saja. Kau kira ini jam berapa?"

"Lalu master tak berguna itu bagaimana?" si Ayah bertanya, merujuk pada pengurus panti. Tidak ada yang tahu tentang dirinya sebelum dia datang ke panti asuhan, tapi entah kenapa dia pandai sekali dalam ilmu pedang. Bagi si pemuda, dia adalah lelaki paling kuat dan guru berpedang paling lihai di dunia, tapi yah hanya itu saja hal bagus dari dirinya.

"Dia bilang dia ada urusan di Ibu Kota. Akhir-akhir ini waktu kupikir dia sudah pulang, ternyata dia langsung pergi lagi." si Anak Perempuan membalas sambil mengeluh. "Aku harap dia mau menetap di sini sebentar."

"Jadi hanya kau dan anak-anak saja yang ada di sini?"

"Iya. Tunggu, apa kau tiba-tiba jadi khawatir pada kami?"

"Ah... Yah..."

Si Anak Perempuan tertawa melihat si pemuda kehabisan kata-kata. "Bercanda kok. Pengawal dari kota kadang kemari saat patroli, dan akhir-akhir ini Ted sering kemari untuk bantu-bantu."

Si Ayah langsung bereaksi mendengar nama itu. "Aku senang kalau ada pengawal yang patroli, tapi usir saja Ted. Aku tidak suka dia ada di dekatmu."

"Lihat dirimu, serius sekali, sih. Apa kau sebegitu tidak suka padanya?"

Bukannya si pemuda benci Ted, tapi sebagai Ayah, dia pikir dia punya hak dan kewajiban untuk marah di situasi seperti ini.

"Makanannya sudah siap, makanlah." si Anak Perempuan berkata sambil melepaskan celemek masaknya dan membawa panci besar itu ke meja makan.

"Akhirnya! Sebelum sampai ke sini aku sudah kelaparan."

"Yah, aku cuma memanaskan sup sisa makan malam tadi kok." si Anak Perempuan berkata dengan tatapan lurus. Meski begitu, si pemuda bisa melihat usahanya untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia tahu makanan di panti asuhan tidak sebanyak itu sampai makan malamnya bisa tersisa satu panci penuh.

Tapi dia memutuskan untuk pura-pura tidak menyadarinya dan berkata, "Terima kasih".

"Tidak perlu berterima kasih untuk hal ini." si Anak Perempuan berkata dengan bangga. Dia duduk di seberang meja dengan senyum lebar, menaruh dagunya di atas kedua tangannya, dan melihat si pemuda makan.

Jujur saja, si Ayah berpikir. Meski aku punya pacar sekalipun, aku mungkin akan tetap menghabiskan malam ini di sini. 5 tahun lalu saat aku masih kecil, aku mengambil pedang untuk pertama kalinya untuk melindungi tempat ini. Selama 5 tahun itu, aku berusaha keras melewati latihan-latihan yang seperti neraka, meski aku tahu aku tidak punya bakat. Karena aku tahu suatu saat nanti aku pasti bisa kembali ke sini.

Besok kami akan bertarung melawan 'Visitor', musuh umat manusia. Saat aku berkata seperti itu, pasti kedengarannya seperti petualangan hebat dengan banyak adegan heroik. Tapi pada akhirnya, kami akan melakukan apa yang memang seharusnya kami lakukan. Demi sesuatu yang ingin kami lindungi. Demi tempat untuk kembali. Kami menghunuskan pedang, bertarung, dan bertahan hidup.

"Tapi tetap saja, setidaknya pada saat seperti ini, tidakkah kau pikir kau bisa mengatakan sesuatu yang bagus?"

Si Ayah, sedikit bingung, mendengarkan sambil memotong kentangnya kecil-kecil, "Sesuatu yang bagus? Seperti apa?"

"'Setelah perang ini selesai, aku akan menikah!', seperti itu?"

"Uhh.. yang seperti itu pasti berakhir buruk."

Si Ayah ingat saat dia masih kecil dia sangat mengagumi para Regal Brave. Dia sering membaca kisah tentang petualangan mereka, dan, jika dia tidak salah ingat, setiap kali ada seseorang mengatakan sesuatu yang mirip dengan apa yang barusan dikatakan si Anak Perempuan, tidak lama kemudian pasti seseorang itu mati. Karena si Ayah tidak begitu ingin mati, dia tidak akan mengatakan sesuatu yang bisa mengundang kematiannya.

"Aku tahu, aku tahu. Anak-anak membaca buku yang kau tinggalkan, dan aku hafal ceritanya karena berkali-kali membantu mereka."

"Kau sudah tahu tapi masih nyuruh juga, benar-benar jahat ya..." si Ayah berkata sambil menyuap sesendok penuh sup. Rasa yang enak dari bumbu-bumbu yang kuat, membuat dia mengenang banyak hal. Sup yang dibuat spesial untuk anak-anak yang kelaparan, kau tidak akan menemukan rasa yang seperti ini di restoran mewah manapun di Ibu Kota.

"Yah, aku paham akan hal itu. Tapi tetap saja, aku merasa ada hal yang mengganjal." si Anak Perempuan berkata pelan sambil memainkan jarinya di atas meja. "Malam ini, kau dan pejuang yang lain diperintahkan untuk tidak meninggalkan rasa penyesalan. Bukankah itu sama dengan siap mati kapan saja? Itu, rasanya salah... Aku tidak tahu apapun tentang perang, tapi kupikir mereka yang tidak siap untuk mati akan bertahan hidup, karena mereka berkata pada diri mereka kalau mereka harus kembali apapun yang terjadi."

Si Anak Perempuan berhenti sejenak. Dia terlihat sedih, lalu melanjutkan kata-katanya, "Di buku yang dulunya kau baca, tipe-tipe karakter seperti itu dibunuh pertama kali supaya ceritanya lebih dramatis dan seru untuk dibaca. Tentu saja sedih kalau ada karakter yang mati padahal kau sangat ingin dia kembali ke rumah dan berkumpul kembali dengan orang-orang yang disayanginya. Tapi dunia nyata kadang tidak seperti itu."

Si Ayah bisa melihat jari-jari si Anak Perempuan sedikit gemetar. Dia anak kuat yang tidak pernah memperlihatkan rasa takut dan kegelisahannya. Tidak peduli seburuk apapun situasinya, dia tidak pernah mengeluh.

"Jadi, saat kau berangkat ke medan perang besok, jangan bebani dirimu dengan pikiran-pikiran pesimis. Kau butuh sesuatu sebagai pegangan, sebagai alasan kembali ke rumah. Kalau kau tidak mengatakannya padaku sekarang, aku takut aku tidak bisa mengantarmu pergi sambil tersenyum besok pagi."

Pemuda itu tahu apa yang ingin si Anak Perempuan katakan. Sebenarnya dia ingin menenangkannya, tapi tetap saja dia tidak bisa tiba-tiba berkata ingin menikah. Pertama-tama, dia butuh pasangan untuk menikah, lalu keputusan penting seperti pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja. Di sisi lain, sesuatu yang bodoh seperti 'Aku akan memikirkan nama yang bagus saat aku pergi, jadi pastikan kau sudah punya bayi saat aku kembali ya' pasti akan membuatnya ditampar dengan keras.

Setelah berpikir dengan hati-hati, dia membalas, "Butter Cake (Kue Mentega)."

"Eh?"

"Buatanmu waktu itu enak. Buatkan satu lagi yang besar dan spesial saat ulang tahunku, ya?"

"Kau akan menghadapi perang dan kembali ke rumah demi... butter cake?"

"Ada yang salah?"

"Eh... Tadinya aku berharap sesuatu yang lebih serius, tapi..." si Anak Perempuan menggaruk wajahnya, lalu menjawab, "Yah begitu juga tidak apa-apa. Tapi karena kau sudah minta, pasti akan kubuat kau makan banyak sampai mulas." Dia berhasil tersenyum, meskipun sedikit terlihat kesedihan di baliknya.

"Tentu saja." si pemuda, sambil terus mengunyah, meyakinkan si Anak Perempuan.

Malam terus berlanjut, setiap menitnya mengantarkan hari pertempuran esok hari menjadi lebih dekat.

Selang setahun sejak malam itu, umat manusia telah punah.


Singkatnya, pemuda Quasi Brave itu tidak bisa menepati janjinya.

No comments:

Post a Comment