Pengertian
Zakat
Zakat menurut Bahasa berarti
tumbuh, kesuburan, berkembang, atau bertambah. Pada Q.S. At-Taubah zakat
diartikan sebagai membersihkan atau mensucikan. Menurut Hukum Islam (istilah
syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang
tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan
tertentu. Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh,
mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan
infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan
infaq sunnah dinamakan shadaqah.
Zakat Pra-Islam
Menurut Yusuf Al-Qadharawi, kegiatan
yang dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah sejak jaman dahulu kala, baik
di kalangan umat beragama maupun tidak. Hal ini terjadi atas adanya pandangan
hidup di kalangan masyarakat saat itu bahwa meninggalkan kesenangan duniawi
merupakan perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan. Sebaliknya, memiliki
kekayaan duniawi akan menghalangi orang untuk memperoleh kebahagiaan hidup di
surga.
Di lembah eufrat (Tigris) sekitar 4000 tahun Sebelum Masehi (SM) ditemukan seorang tokoh yang punya kepedulian dalam masalah sosial. Namanya Hammurabi, orang pertama yang menyusun peraturan-peraturan tertulis–dan masih bisa dibaca sekarang ini–berkata bahwa Tuhan mengirimnya ke dunia ini untuk mencegah orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang lemah, membimbing manusia, dan menciptakan kemakmuran buat umat manusia.
Beribu tahun sebelum masehi, seperti dikatakan Karel Sjobanz, orang
Mesir kuno selalu merasa menyandang tugas agama sehingga mengatakan, ”Orang
lapar, aku beri roti. Orang yang tidak berpakaian, kuberi pakaian. Kubimbing
kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang dan aku adalah
ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda, dan tempat menyelamatkan
diri bagi orang-orang yang tertimpa hujan badai.”
Dalam syariat Nabi Musa AS, zakat sudah dikenal, tetapi hanya dikenakan
terhadap kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti sapi, kambing, dan unta.
Zakat yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen dari nisab yang ditentukan. Dalam kitab Taurat juga disebutkan, ”Barang siapa menyumbat telinganya akan
tangis orang miskin, ia pun kelak akan berteriak, tetapi tiada yang mendengar
akan suaranya. Dengan persembahan yang sembunyi, orang akan memadamkan murka.
Orang yang baik matanya itu akan diberkati karena ia telah memberikan rotinya
kepada orang miskin.” (Taurat, surat Amsal pasal 21-22).
Bangsa Arab jahiliyah mengenal sistem sedekah khusus, sebagaimana
disebutkan dalam Q.S. Al-An’am ayat 136. “Dan,
mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah
diciptakan Allah, lalu mereka berkata, sesuai dengan persangkaan mereka, ‘Ini
untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’ Maka, saji-sajian yang
diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah dan yang
diperuntukkan bagi Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat
buruklah ketetapan mereka itu.”
Zakat pada
Masa Rasulullah
Perintah atau kewajiban
untuk mengeluarkan zakat bagi umat muslim pertamakali di syariatkan pada tahun
kedua Hijriyah yang bertepatan dengan tahun 623 M, saat periode Makkah
pemerintahan Rasulullah dan beliau belum melakukan Hijrah ke Madinah. Kepada
rakyat Makkah Allah mewajibkan untuk menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan
Ramadhan sebesar 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau setengah sha’ gandum.
Di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah untuk
mengeluarkan zakat, baik perintah yang menggunaka lafadz shadaqah maupun zakat.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah ayat makiyyah.
Zakat pada periode Makkah merupakan zakat yang tidak terikat dan tidak
ditentukan batasnya. Salah satu ayat yang berisi tentang perintah zakat adalah
Q.S. Ar-Rum ayat 38 “Berilah para
kerabat, fakir miskin, dan orang yang terantar dalam perjalanan hak
masing-masing. Yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah
Allah SWT”.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam fiqih zakat menjelaskan bahwa berdasarkan ayat
tersebut, zakat pada periode Makkah belum ditentukan kadar atau besarnya. Zakat
yang diwajibkan hanyalah sekedar mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki
untuk diberikan kepada fakir miskin. Batas-batas zakatnya juga sepenuhnya
diserahkan pada iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang
atas orang lain.
Kondisi sosiologis umat Makkah pada masa tersebut juga merupakan factor yang
menyebabkan system zakat yang ada. Umat Islam masih menjadi kelompok minoritas
dimana kaum kafir Quraisy menjadi kaum mayoritasnya. Tidak banyak umat muslim yang
memiliki kekayaan dan harta benda yang melimpah kecuali kekuatan iman dan Islam
yang melekat pada jiwa mereka, karena kebanyakan dari mereka lebih memilih
meninggalkan harta bendanya daripada meninggalkan iman mereka.
Berdeda dengan Makkah, system zakat
di Madinah lebih jelas dan rapi. Umat muslim di Madinah merupakan jamaah yang
memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Selain itu, ayat-ayat
yang turun di Madinah sudah menegaskan bahwa zakat hukumnya wajib dan ada
ketentuan besaran serta sanksi bagi yang melanggarnya. Sebagaimana diceritakan
pada surat At-Taubah ayat 5: “Apabila sudah
habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana
saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah
ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.”
Ada satu kisah pada periode Madinah tentang sanksi orang yang menolak
untuk mebayar zakat padahal ia telah mampu, yakni kisah Tsalabah. Dahulunya,
Tsalabah adalah seseorang yang sangat miskin, tetapi dia rajin beribadah. Ia
memohon agar Allah memberikan rezeki kepadanya.
Atas ketabahan dan kesabarannya, Rasul SAW akhirnya bermohon kepada
Allah agar memberikan rezeki kepada Tsalabah. Maka, diberilah ia seekor kambing.
Ia pun memelihara kambing-nya dengan baik hingga akhirnya terus bertambah
banyak. Akibatnya, ia semakin jauh untuk mengingat Allah.
Ia pun diperintahkan oleh Rasul SAW untuk mengeluarkan zakat atas hewan
ternak yang digembalakannya, namun ia menolak. Ia digolongkan sebagai orang
munafik, yakni bila diberi kekayaan,
mereka lupa mengingat Allah.
Zakat mempunyai kedudukan penting dalam
struktur ekonomi-keagamaan, dari mekanisme keuangan Islam. Zakat mendapatkan
perhatian dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. dibanding dengan sumber-sumber
pendapatan lainnya yang ada dalam Islam. Zakat dan Ushr (zakat atas hasil
pertanian dan buah-buahan) merupakan pendapatan yang paling utama dan penting
pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW.
Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak
diberlakukan sama seperti pajak. Zakat dan Ushr merupakan kewajiban agama dan
termasuk salah satu rukun Islam. Pengeluarannya tidak dapat dibelanjakan untuk
pengeluaran umum negara. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW kepada Muadz
yang artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berkata
kepada Muadz ketika beliau mengirimnya ke Yaman sebagai petugas zakat, “
Katakanlah kepada mereka ( penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka
untuk membayar zakat yang akan diambil dari orang kaya diantara mereka dan
memberikannya kepada orang miskin diantara mereka”.
Dengan demikian, pemerintah pusat hanya
berhak menerima keuntungan apabila terjadi surplus yang tidak dapat
didistribusikan kepada orang yang tidak berhak. Pada masa Rasulullah SAW, zakat
ditetapkan atas kekayaan-kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari
sisi nilainya (emas, perak), atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut,
seperti ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan, dan luqathah,
harta yang ditinggalkan musuh dan barang temuan. Semuanya dikenakan zakat
ketika sudah mencapai nishabnya, dan mencapai satu tahun kecuali pertanian,
dikenakan zakat ketika panen.
Zakat pada
Masa Khulafaurrasyidin
a. Abu bakar Ashshidiq RA
(537-634 M)
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan harta
baitul maal, namun beberapa saat menjelang ajalnya, negara kesulitan dalam
mengumpulkan pendapatan yang kemudian beliau memerintahkan untuk memberikan
tunjangan sebesar 8000 dirham dan menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya
untuk negara. Beliau sangat akurat dalam penghitungan dan pengumpulan zakat
kemudian ditampung di baitul maal dan didistribusikan dalam jangka waktu yang
tidak lama sampai habis tidak tersisa. Pembagiannya sama rata antara sahabat
yang masuk Islam terlebih dahulu maupun yang belakangan, pria maupun wanita.
Beliau juga membagikan sebagian tanah taklukan, dan sebagian yang lain tetap
menjadi milik Negara, juga mengambil alih tanah orang-orang yang murtad untuk
kepentingan umat Islam. Ketika beliau wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam
perbendaharaan negara karena memang harta yang sudah dikumpulkan langsung
dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta di baitul maal.
b. Umar bin Khattab (584-644M)
Baitul maal pada masa ini tertata baik dan rapi lengkap dengan sistem
administrasinya karena pendapatan negara meningkat drastis. Harta baitul maal
tidak dihabiskan sekaligus, sebagian diantaranya untuk cadangan baik untuk
kepentingan darurat, pembayaran gaji tentara, dan kepentingan umat yang lain.
Baitul maal merupakan pelaksana kebijakan fiskal negara Islam. Khalifah
mendapat tunjangan sekitar 5000 dirham per tahun. Harta baitul maal adalah
milik kaum muslimin sedang khalifah dan amil hanya pemegang amanah. Untuk
mendistribusikan harta baitul maal umar juga mendirikan: departemen pelayanan
militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen pelayanan dan
pengembangan Islam, dan departemen jaminan sosial. Umar juga mendirikan dewan
islam yang bertugas memberikan tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun.
Selain itu Umar juga membagikan harta dalam bentuk benda, dua ember
makanan sebulan, dua karung gandum dan cuka untuk satu orang. Dalam
memperlakukan tanah taklukan, Umar tidak membaginya kepada kaum muslimin tetapi
tetap pada pemiliknya dengan syarat membayar jizyah dan kharaj. Umar juga
mensubsidi masjid masjid dan madrasah-madrasah.
Umar membagi pendapatan negara menjadi empat yaitu: zakat dan ushr
didistribusikan di tingkat lokal, khums dan sedekah, didistribusikan untuk
fakir miskin baik muslim maupun non muslim, kharaj, fai, jizyah, pajak
perdagangan, dan sewa tanah untuk dana pensiun, daba operasional administrasi
dan militer, dan pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, dan dana
sosial.
c. ’Usman bin Affan (577-656M)
Usman meneruskan kebijakan pada masa Umar. Khalifah usman tidak
mengambil upah dari kantornya. Beliau juga mengurangi zakat dari pensiun dan
menambahkan santunan dengan pakaian. Kemudian juga memperkenalkan kebiasaan
membagikan makanan di masjid untuk orang-orang menderita, pengembara dan orang
miskin. Beliau membagi tanah taklukan dari kerajaan persia yang pada masa Umar
disimpan sebagai lahan negara yang tidak dibagi-bagi sehingga pendapatan dari
tanah ini meningkat dari 9 juta ke 50 juta dirham
d. ’Ali Bin Abu Thalib (600-661M)
Ali adalah orang yang sangat sederhana. Beliau secara sukarela menarik
diri dari daftar penerima bantuan baitul maal, bahkan memberikan 5000 dirham
setiap tahunnya. Beliau sangat ketat dan berhati-hati dalam menjalankan
keuangan negara. Ali juga menaikkan tunjangan para pengikutnya di Irak. Ali
memiliki konsep yang jelas mengenai pemerintahan, administrasi umum dan
permasalahan yang berkaitan dengannya.
Potensi
Zakat Pada Masa Rasulullah SAW
Fakta sejarah membuktikan di
zaman Rasullulah SAW, sahabat, ummayah, dan Abbasiah, ekonomi umat akan tumbuh
bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz
dalam tempo 30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua
muzakki mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi
juga produktif.
Secara spiritual amalan zakat sesungguhnya bagaikan tabungan akhirat,
namun hakekat zakat dalam urusan dunia memiliki kekuatan yang efektif dalam
membangun ekonomi masyarakat khususnya masyarakat Islam. Beberapa pokok pikiran
yang mendasari asumsi ini antara lain:
1. Terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terus
menerus. Implikasi demografis ini secara otomatis maka nilai totalitas
kuantitatif zakat secara nasional akan meningkat tentunya diukur dari sisi
besarnya rupiah yang dikumpul
2. Kemampuan pengumpulan zakat dan besarnya jumlah
pemberi zakat (muzakki) sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah instrumen
efektif untuk mengukur adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Islam)
secara umumnya
3. Indikator empiris untuk mengaitkan adanya kenaikan
tingkat kesadaran masyarakat (Muslim) dalam membayar zakat. Tentunya indikator
ini berkaitan dengan meningkatnya kesdaran dan amalan jariah melalui zakat,
infaq dan sadaqah.
4. Keberhasilan meningkatkan kualitas nilai zakat dan
kuantitas muzakki merefleksikan efektifnya manajemen zakat yang dikelola oleh
BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Zakat
pada Masa Kini (Khususnya Indonesia)
Masyarakat Indonesia banyak
berwakaf dan sedikit berzakat pada saat awal colonial, pra kemerdekaan dan
kemerdekaan. Karena itu permasalahan mendasar. Sebelum zaman orde baru, praktek
zakat di Indonesia hanya sebatas zakat fitrah yang dilakukan umat Muslim sekali
setahun pada bulan Ramadhan saja, walaupun ada zakat maal yang objeknya hanya
zakat tanaman hasil panen. Sedangkan zakat perniagaan dan zakat emas tidak
diterapkan.Pada masa pemerintahan kolonial, zakat dan wakaf tidak semata-mata
digunakan untuk kepentingan agama. Hasil zakat dan wakaf merupakan alat politik
sebagai dukungan materi untuk gerakan pemberontakan melawan penguasa kolonial
saat itu. Oleh karena itu zakat mengundang perhatian masyarakat kolonial. Jika
makin besar dana zakat yang dikumpulkan masyarakat Muslim Indonesia, takutnya
digunakan untuk dana pemberontakan melawan mereka.
Sebagai upaya agar wakaf dan zakat tidak digunakan untuk kesejahteraan
sosial di kalangan masyarakat Muslim serta tujuan politik. Maka zakat sering
digunakan oleh pejabat agama dan pemerintah kolonial untuk mensubsidi upacara
perayaan resmi atau untuk perbaikan kantor negara.
Kondisi wakaf dan zakat tidak dapat dipisahkan dari peran organisasi
Muslim di Indonesia. Mereka berfungsi sebagai agen sosial dan perkembangan
agama. Metode yang diterapkan pun beragam, mulai dari mengikuti prinsip-prinsip
sistem ritual sesuai dengan fiqh klasik, ataupun modern seperti diatur oleh
departemen tertentu dengan memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah, rumah sakit
dan kegiatan sosial.
Meskipun perkembangan zakat terlihat signifikan berkat pertumbuhan
lembaga amil zakat, namun beberapa masalah masih belum terselesaikan mengenai
sinergi antara lembaga amil zakat dan antara pemerintah dan lembaga amil zakat.
Dengan kata lain, masing-masing lembaga zakat memiliki program dn misi sendiri
tanpa koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lain sebagai sarana untuk
memaksimalkan dampak dan menghindari tumpang tindih.
Adanya kelemahan negara dalam melayani masyarakat, maka wajar jika banyak
bermunculan lembaga independen yang menangani zakat. Dan dengan munculnya
lembaga independen ini,banyak terdapat persaingan yang memunculkan oknum. Maka,
dibutuhkan regulasi sebagai jaminan aman masyarakat terhadap operasional
lembaga ini.
Dalam proses perjalanan sejarah, maka pada tanggal 23 September 1999
Bangsa Indonesia telah memiliki hukum berupa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, yang pelaksanaan dan pedoman teknis diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun
1999 yang telah disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama No.373 tahun 2003
dan Keputusan Direktur Jenderal bimbingan Masyarakat Nomor D-29 Tahun 2000.
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat khususnya bagi
umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim
yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak
menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik (profesional, amanah, transparan dan
bertanggung jawab) maka zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk
memajukan bagi kesejahteraan masyarakat terutama pengentasan kemiskinan dan
pemberantasan kesenjangan sosial.
Dalam Undang-undang 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan
antara lain:
9.
Pengelolaan
Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
(pasal 1 ayat 1)
10.
Zakat
adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki
oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya. (pasal 1 ayat 1)
11.
Setiap
warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki
oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. (pasal 2)
12.
Pemerintah
berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzaki,
mustahiq, dan amil zakat. (pasal 3)
13.
Pengelolaan
zakat berdasarkan iman dan taqwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (pasal 4)
14.
Pengelolaan
Zakat bertujuan :
d) Meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
e) Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
f) Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
15.
Pengelolaan
zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan tingkatan dan Lembaga Amil
Zakat yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah.
16.
Pengelolaan
zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan
kafarat.
17.
Untuk
menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini
ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri dari atas
ulama, kaum cendekia dan masyarakat.
Selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal
dan belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya
Lembaga Zakat yang menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring
serta evaluasinya. Dengan kata lain, Sistem Organsisasi dan Manajemen Pengelolaan
Zakat hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan
terkesan Inefisiensi sehingga kurang berdampak sosial yang berarti.
Dengan alasan tersebut maka sangatlah penting peran Pemerintah dalam
mengatasi masalah zakat tersebut. Melalui Lembaga Amil Zakat baik di Pusat
maupun di Daerah diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.
Peran Pemerintah dengan dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999, tentang
Pengelolaan Zakat telah membawa dampak positif bagi Umat Islam dalam mengelola
zakat dari para muzakki.
Daftar Rujukan
Hadinoto ,Pandji. Sejarah Zakat
dari Zaman Pra-Islam. online. http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/sejarah-zakat-dari-zaman-pra-islam/ diakses tanggal 13 Juni 2013.
Hudarsono,Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar.
Yogyakarta : Ekonisia.
Karim, Adiwarman. 2006. Sejarah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Ilmu
Prayitno, Budi. 2008.Optimalisasi Pengelolaan Zakat
Pada badan Amil Zakat Daerah. Tinjauan
Terhadap Badan Amil Zakat Daerah Kabupate Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang
No comments:
Post a Comment