Friday, June 14, 2013

Zakat Zaman Klasik dan Sekarang


Pengertian Zakat
Zakat menurut Bahasa berarti tumbuh, kesuburan, berkembang, atau bertambah. Pada Q.S. At-Taubah zakat diartikan sebagai membersihkan atau mensucikan. Menurut Hukum Islam (istilah syara’), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

Zakat Pra-Islam
Menurut Yusuf Al-Qadharawi, kegiatan yang dilakukan yang berbentuk seperti zakat telah sejak jaman dahulu kala, baik di kalangan umat beragama maupun tidak. Hal ini terjadi atas adanya pandangan hidup di kalangan masyarakat saat itu bahwa meninggalkan kesenangan duniawi merupakan perbuatan terpuji dan bersifat kesalehan. Sebaliknya, memiliki kekayaan duniawi akan menghalangi orang untuk memperoleh kebahagiaan hidup di surga.

Di lembah eufrat (Tigris) sekitar 4000 tahun Sebelum Masehi (SM) ditemukan seorang tokoh yang punya kepedulian dalam masalah sosial. Namanya Hammurabi, orang pertama yang menyusun peraturan-peraturan tertulis–dan masih bisa dibaca sekarang ini–berkata bahwa Tuhan mengirimnya ke dunia ini untuk mencegah orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang lemah, membimbing manusia, dan menciptakan kemakmuran buat umat manusia.
Beribu tahun sebelum masehi, seperti dikatakan Karel Sjobanz, orang Mesir kuno selalu merasa menyandang tugas agama sehingga mengatakan, ”Orang lapar, aku beri roti. Orang yang tidak berpakaian, kuberi pakaian. Kubimbing kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda, dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang tertimpa hujan badai.”
Dalam syariat Nabi Musa AS, zakat sudah dikenal, tetapi hanya dikenakan terhadap kekayaan yang berupa binatang ternak, seperti sapi, kambing, dan unta. Zakat yang wajib dikeluarkan adalah 10 persen dari  nisab yang ditentukan. Dalam kitab Taurat juga disebutkan, ”Barang siapa menyumbat telinganya akan tangis orang miskin, ia pun kelak akan berteriak, tetapi tiada yang mendengar akan suaranya. Dengan persembahan yang sembunyi, orang akan memadamkan murka. Orang yang baik matanya itu akan diberkati karena ia telah memberikan rotinya kepada orang miskin.” (Taurat, surat Amsal pasal 21-22).
Bangsa Arab jahiliyah mengenal sistem sedekah khusus, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-An’am ayat 136. “Dan, mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata, sesuai dengan persangkaan mereka, ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’ Maka, saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah dan yang diperuntukkan bagi Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.”

Zakat pada Masa Rasulullah
Perintah atau kewajiban untuk mengeluarkan zakat bagi umat muslim pertamakali di syariatkan pada tahun kedua Hijriyah yang bertepatan dengan tahun 623 M, saat periode Makkah pemerintahan Rasulullah dan beliau belum melakukan Hijrah ke Madinah. Kepada rakyat Makkah Allah mewajibkan untuk menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan sebesar 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau setengah sha’ gandum. Di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah untuk mengeluarkan zakat, baik perintah yang menggunaka lafadz shadaqah maupun zakat. Diantara ayat-ayat tersebut adalah ayat makiyyah.
Zakat pada periode Makkah merupakan zakat yang tidak terikat dan tidak ditentukan batasnya. Salah satu ayat yang berisi tentang perintah zakat adalah Q.S. Ar-Rum ayat 38 “Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang yang terantar dalam perjalanan hak masing-masing. Yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah SWT”.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam fiqih zakat menjelaskan bahwa berdasarkan ayat tersebut, zakat pada periode Makkah belum ditentukan kadar atau besarnya. Zakat yang diwajibkan hanyalah sekedar mengeluarkan sebagian harta yang dimiliki untuk diberikan kepada fakir miskin. Batas-batas zakatnya juga sepenuhnya diserahkan pada iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain.
Kondisi sosiologis umat Makkah pada masa tersebut juga merupakan factor yang menyebabkan system zakat yang ada. Umat Islam masih menjadi kelompok minoritas dimana kaum kafir Quraisy menjadi kaum mayoritasnya. Tidak banyak umat muslim yang memiliki kekayaan dan harta benda yang melimpah kecuali kekuatan iman dan Islam yang melekat pada jiwa mereka, karena kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada meninggalkan iman mereka.
 Berdeda dengan Makkah, system zakat di Madinah lebih jelas dan rapi. Umat muslim di Madinah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Selain itu, ayat-ayat yang turun di Madinah sudah menegaskan bahwa zakat hukumnya wajib dan ada ketentuan besaran serta sanksi bagi yang melanggarnya. Sebagaimana diceritakan pada surat At-Taubah ayat 5: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.
Ada satu kisah pada periode Madinah tentang sanksi orang yang menolak untuk mebayar zakat padahal ia telah mampu, yakni kisah Tsalabah. Dahulunya, Tsalabah adalah seseorang yang sangat miskin, tetapi dia rajin beribadah. Ia memohon agar Allah memberikan rezeki kepadanya.
Atas ketabahan dan kesabarannya, Rasul SAW akhirnya bermohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada Tsalabah. Maka, diberilah ia seekor kambing. Ia pun memelihara kambing-nya dengan baik hingga akhirnya terus bertambah banyak. Akibatnya, ia semakin jauh untuk mengingat Allah.
Ia pun diperintahkan oleh Rasul SAW untuk mengeluarkan zakat atas hewan ternak yang digembalakannya, namun ia menolak. Ia digolongkan sebagai orang munafik, yakni bila diberi kekayaan, mereka lupa mengingat Allah.
Zakat mempunyai kedudukan penting dalam struktur ekonomi-keagamaan, dari mekanisme keuangan Islam. Zakat mendapatkan perhatian dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. dibanding dengan sumber-sumber pendapatan lainnya yang ada dalam Islam. Zakat dan Ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan) merupakan pendapatan yang paling utama dan penting pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW.
Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diberlakukan sama seperti pajak. Zakat dan Ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu rukun Islam. Pengeluarannya tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad  SAW kepada Muadz yang artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Muadz ketika beliau mengirimnya ke Yaman sebagai petugas zakat, “ Katakanlah kepada mereka ( penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk membayar zakat yang akan diambil dari orang kaya diantara mereka dan memberikannya kepada orang miskin diantara  mereka”.
Dengan demikian, pemerintah pusat hanya berhak menerima keuntungan apabila terjadi surplus yang tidak dapat didistribusikan kepada orang yang tidak berhak. Pada masa Rasulullah SAW, zakat ditetapkan atas kekayaan-kekayaan yang memiliki kemampuan untuk berkembang dari sisi nilainya (emas, perak), atau dapat menghasilkan kekayaan lebih lanjut, seperti ternak, produksi pertanian dan barang-barang dagangan, dan luqathah, harta yang ditinggalkan musuh dan barang temuan. Semuanya dikenakan zakat ketika sudah mencapai nishabnya, dan mencapai satu tahun kecuali pertanian, dikenakan zakat ketika panen.

Zakat pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Abu bakar Ashshidiq RA (537-634 M)
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan harta baitul maal, namun beberapa saat menjelang ajalnya, negara kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan yang kemudian beliau memerintahkan untuk memberikan tunjangan sebesar 8000 dirham dan menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya untuk negara. Beliau sangat akurat dalam penghitungan dan pengumpulan zakat kemudian ditampung di baitul maal dan didistribusikan dalam jangka waktu yang tidak lama sampai habis tidak tersisa. Pembagiannya sama rata antara sahabat yang masuk Islam terlebih dahulu maupun yang belakangan, pria maupun wanita. Beliau juga membagikan sebagian tanah taklukan, dan sebagian yang lain tetap menjadi milik Negara, juga mengambil alih tanah orang-orang yang murtad untuk kepentingan umat Islam. Ketika beliau wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara karena memang harta yang sudah dikumpulkan langsung dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta di baitul maal.

b. Umar bin Khattab (584-644M)
Baitul maal pada masa ini tertata baik dan rapi lengkap dengan sistem administrasinya karena pendapatan negara meningkat drastis. Harta baitul maal tidak dihabiskan sekaligus, sebagian diantaranya untuk cadangan baik untuk kepentingan darurat, pembayaran gaji tentara, dan kepentingan umat yang lain. Baitul maal merupakan pelaksana kebijakan fiskal negara Islam. Khalifah mendapat tunjangan sekitar 5000 dirham per tahun. Harta baitul maal adalah milik kaum muslimin sedang khalifah dan amil hanya pemegang amanah. Untuk mendistribusikan harta baitul maal umar juga mendirikan: departemen pelayanan militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen pelayanan dan pengembangan Islam, dan departemen jaminan sosial. Umar juga mendirikan dewan islam yang bertugas memberikan tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun.
Selain itu Umar juga membagikan harta dalam bentuk benda, dua ember makanan sebulan, dua karung gandum dan cuka untuk satu orang. Dalam memperlakukan tanah taklukan, Umar tidak membaginya kepada kaum muslimin tetapi tetap pada pemiliknya dengan syarat membayar jizyah dan kharaj. Umar juga mensubsidi masjid masjid dan madrasah-madrasah.
Umar membagi pendapatan negara menjadi empat yaitu: zakat dan ushr didistribusikan di tingkat lokal, khums dan sedekah, didistribusikan untuk fakir miskin baik muslim maupun non muslim, kharaj, fai, jizyah, pajak perdagangan, dan sewa tanah untuk dana pensiun, daba operasional administrasi dan militer, dan pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, dan dana sosial.

c. ’Usman bin Affan (577-656M)
Usman meneruskan kebijakan pada masa Umar. Khalifah usman tidak mengambil upah dari kantornya. Beliau juga mengurangi zakat dari pensiun dan menambahkan santunan dengan pakaian. Kemudian juga memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang menderita, pengembara dan orang miskin. Beliau membagi tanah taklukan dari kerajaan persia yang pada masa Umar disimpan sebagai lahan negara yang tidak dibagi-bagi sehingga pendapatan dari tanah ini meningkat dari 9 juta ke 50 juta dirham

d. ’Ali Bin Abu Thalib (600-661M)
Ali adalah orang yang sangat sederhana. Beliau secara sukarela menarik diri dari daftar penerima bantuan baitul maal, bahkan memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Beliau sangat ketat dan berhati-hati dalam menjalankan keuangan negara. Ali juga menaikkan tunjangan para pengikutnya di Irak. Ali memiliki konsep yang jelas mengenai pemerintahan, administrasi umum dan permasalahan yang berkaitan dengannya.

Potensi Zakat Pada Masa Rasulullah SAW
Fakta sejarah membuktikan di zaman Rasullulah SAW, sahabat, ummayah, dan Abbasiah, ekonomi umat akan tumbuh bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif.
Secara spiritual amalan zakat sesungguhnya bagaikan tabungan akhirat, namun hakekat zakat dalam urusan dunia memiliki kekuatan yang efektif dalam membangun ekonomi masyarakat khususnya masyarakat Islam. Beberapa pokok pikiran yang mendasari asumsi ini antara lain:
1.   Terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terus menerus. Implikasi demografis ini secara otomatis maka nilai totalitas kuantitatif zakat secara nasional akan meningkat tentunya diukur dari sisi besarnya rupiah yang dikumpul
2.   Kemampuan pengumpulan zakat dan besarnya jumlah pemberi zakat (muzakki) sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah instrumen efektif untuk mengukur adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Islam) secara umumnya
3.   Indikator empiris untuk mengaitkan adanya kenaikan tingkat kesadaran masyarakat (Muslim) dalam membayar zakat. Tentunya indikator ini berkaitan dengan meningkatnya kesdaran dan amalan jariah melalui zakat, infaq dan sadaqah.
4.   Keberhasilan meningkatkan kualitas nilai zakat dan kuantitas muzakki merefleksikan efektifnya manajemen zakat yang dikelola oleh BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Zakat pada Masa Kini (Khususnya Indonesia)
Masyarakat Indonesia banyak berwakaf dan sedikit berzakat pada saat awal colonial, pra kemerdekaan dan kemerdekaan. Karena itu permasalahan mendasar. Sebelum zaman orde baru, praktek zakat di Indonesia hanya sebatas zakat fitrah yang dilakukan umat Muslim sekali setahun pada bulan Ramadhan saja, walaupun ada zakat maal yang objeknya hanya zakat tanaman hasil panen. Sedangkan zakat perniagaan dan zakat emas tidak diterapkan.Pada masa pemerintahan kolonial, zakat dan wakaf tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan agama. Hasil zakat dan wakaf merupakan alat politik sebagai dukungan materi untuk gerakan pemberontakan melawan penguasa kolonial saat itu. Oleh karena itu zakat mengundang perhatian masyarakat kolonial. Jika makin besar dana zakat yang dikumpulkan masyarakat Muslim Indonesia, takutnya digunakan untuk dana pemberontakan melawan mereka.
Sebagai upaya agar wakaf dan zakat tidak digunakan untuk kesejahteraan sosial di kalangan masyarakat Muslim serta tujuan politik. Maka zakat sering digunakan oleh pejabat agama dan pemerintah kolonial untuk mensubsidi upacara perayaan resmi atau untuk perbaikan kantor negara.
Kondisi wakaf dan zakat tidak dapat dipisahkan dari peran organisasi Muslim di Indonesia. Mereka berfungsi sebagai agen sosial dan perkembangan agama. Metode yang diterapkan pun beragam, mulai dari mengikuti prinsip-prinsip sistem ritual sesuai dengan fiqh klasik, ataupun modern seperti diatur oleh departemen tertentu dengan memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah, rumah sakit dan kegiatan sosial.
Meskipun perkembangan zakat terlihat signifikan berkat pertumbuhan lembaga amil zakat, namun beberapa masalah masih belum terselesaikan mengenai sinergi antara lembaga amil zakat dan antara pemerintah dan lembaga amil zakat. Dengan kata lain, masing-masing lembaga zakat memiliki program dn misi sendiri tanpa koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lain sebagai sarana untuk memaksimalkan dampak dan menghindari tumpang tindih.
Adanya kelemahan negara dalam melayani masyarakat, maka wajar jika banyak bermunculan lembaga independen yang menangani zakat. Dan dengan munculnya lembaga independen ini,banyak terdapat persaingan yang memunculkan oknum. Maka, dibutuhkan regulasi sebagai jaminan aman masyarakat terhadap operasional lembaga ini.
Dalam proses perjalanan sejarah, maka pada tanggal 23 September 1999 Bangsa Indonesia telah memiliki hukum berupa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang pelaksanaan dan pedoman teknis diatur  dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 yang telah disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama No.373 tahun 2003 dan Keputusan Direktur Jenderal bimbingan Masyarakat Nomor D-29 Tahun 2000.
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat khususnya bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik (profesional, amanah, transparan dan bertanggung jawab) maka zakat merupakan sumber dana  potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan bagi kesejahteraan masyarakat terutama pengentasan kemiskinan dan pemberantasan kesenjangan sosial.
Dalam Undang-undang 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan antara lain:
9.         Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. (pasal 1 ayat 1)
10.     Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. (pasal 1 ayat 1)
11.     Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. (pasal 2)
12.     Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzaki, mustahiq, dan amil zakat. (pasal 3)
13.     Pengelolaan zakat berdasarkan iman dan taqwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (pasal 4)
14.     Pengelolaan Zakat bertujuan :
d)  Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
e) Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
f) Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
15.     Pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah  sesuai dengan tingkatan dan Lembaga Amil Zakat yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah.
16.     Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat.
17.     Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri dari atas ulama, kaum cendekia dan masyarakat.
Selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya Lembaga Zakat yang menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta evaluasinya. Dengan kata lain, Sistem Organsisasi dan Manajemen Pengelolaan Zakat hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan Inefisiensi sehingga kurang berdampak sosial yang berarti.
Dengan alasan tersebut maka sangatlah penting peran Pemerintah dalam mengatasi masalah zakat tersebut. Melalui Lembaga Amil Zakat baik di Pusat maupun di Daerah diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.
Peran Pemerintah dengan dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat telah membawa dampak positif bagi Umat Islam dalam mengelola zakat dari para muzakki.

Daftar Rujukan
Hadinoto ,Pandji. Sejarah Zakat dari Zaman Pra-Islam. online. http://jakarta45.wordpress.com/2009/07/19/sejarah-zakat-dari-zaman-pra-islam/ diakses tanggal 13 Juni 2013.
Hudarsono,Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Ekonisia.
Karim, Adiwarman. 2006. Sejarah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Ilmu
Prayitno, Budi. 2008.Optimalisasi Pengelolaan Zakat Pada badan Amil Zakat Daerah. Tinjauan Terhadap Badan Amil Zakat Daerah Kabupate Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang

No comments:

Post a Comment